Oleh: Yusuf Wibisono
(Dosen Universitas Brawijaya Malang)
Tragedi ‘Lumpur Lapindo’ dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.3
Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.5
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo,6 rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran 1 (menggunakan snubbing unit) dan 2 (pembuatan relief well) mengalami kegagalan. Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal.
Penyebab Semburan ’Lumpur Lapindo’ (juga : Mengapa Lumpur Panas Menyembur)
Setidaknya ada 3 aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas tersebut. Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic shock) Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen.7 Namun, hal itu dibantah oleh para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan dengan Surabaya.8 Argumen liquefaction lemah karena biasanya terjadi pada lapisan dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung, bukan pada kedalaman 2.000-6.000 kaki.9 Lagipula, dengan merujuk gempa di California (1989) yang berkekuatan 6.9 Mw, dengan radius terjauh likuifaksi terjadi pada jarak 110 km dari episenter gempa, maka karena gempa Yogya lebih kecil yaitu 6.3 Mw seharusnya radius terjauh likuifaksi kurang dari 110 Km.10 Akhirnya, kesalahan prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai sampul.11 Hal itu diakui bahwa semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran.12 Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki.13 Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9-5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Namun, dari informasi di lapangan, BOP telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur. Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.14
Kedua, aspek ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur.15 Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang saham wilayah Blok Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing, sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.16
Ketiga, aspek politis. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam.17
Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur panas ini. Pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem. Di Jawa Timur saja, tercatat banyak kasus bencana yang diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang migas, seperti kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan 26 petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak mentah (2002) karena eksplorasi Premier Oil.18 Yang terakhir, tepat 2 bulan setelah tragedi semburan lumpur Sidoarjo, sumur minyak Sukowati, Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar. Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur minyak Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo, mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran.19
Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam perspektif Kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi.
Solusi Islam atas Kasus Lapindo
Paham kepemilikan telah menjadi polemik para ekonom. Para ekonom kapitalis seperti digambarkan Hessen,20 berpendapat bahwa jika seluruh kepemilikan bertumpu pada individu (economic individualism) akan membuat suatu kompetisi penuh, yang digambarkan Adam Smith sebagai ’sistem sederhana dari kebebasan alamiah’. Namun, dari perjalanan Kapitalisme mulai revolusi industri hingga sekarang, banyak borok-borok yang ditimbulkan dari paham kepemilikan privat ini. Lawannya jelas ekonom sosialis, seperti digambarkan Heilbroner,21 bahwa seluruh kepemilikan dipegang oleh negara. Dalam perjalanan, paham ini juga bukan tanpa masalah, karena kepemilikan negara direpresentasikan oleh ’pejabat negara’ yang boleh mengeksplotasi ’warga negara’ karena tidak ada hak kepemilikan privat dalam paham ini. Masalah pun muncul.
Berbagai ramuan dan gado-gado dari kedua paham tersebut menjadi alternatif yang diajukan. Lalu diuji coba, sebuah trial yang hasilnya senantiasa error. Ekonomi neo-liberal, bersifat kerakyatan berkeadilan sosial muncul. Namun, semua tidak menyelesaikan masalah. Dalam kasus Indonesia, pengelolaan SDA jelas tergambar dalam pasal 33 UUD 1945. Namun, Hak Menguasai Negara (HMN) yang ada dipergunakan oleh ’oknum negarawan’ untuk menjual negara. Dalam banyak kajian diakui bahwa paradigma HMN merupakan salah satu penyebab dasar (underlying causes) kerusakan berbagai ekosistem, penyusutan kekayaan alam dan dehumanisasi di Indonesia.22 Lantas muncul tuntutan, supaya dikembalikan pada pengelolaan komunitas (communal right) seperti masyarakat adat, warga setempat, atau otonomi daerah.23 Namun, hal itu sebenarnya akan menjadi masalah baru yang disebut Hardin24 sebagai “tragedy of the commons”, karena pemanfaatan sumberdaya yang bersifat terbuka (open access) sehingga rentan over eksploitasi.
Islam menjawab itu semua, dengan konsep kepemilikan yang jelas: kepemilikan individu (private property); kepemilikan umum (collective property); dan kepemilikan negara (state property). Khusus berkenaan dengan kepemilikan umum, yaitu seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum Muslim, dan menjadikan kekayaan tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi. Zallum25) mengelompokkan dalam tiga jenis: (1) sarana umum yang diperlukan seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dll; (2) kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll; (3) barang tambang (sumberdaya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat seperti emas atau besi, cair seperti minyak bumi atau gas seperti gas alam. Rasulullah saw. Bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلأِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput/hutan dan api/energi. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Walaupun akses terhadapnya terbuka bagi kaum Muslim, regulasi diatur oleh negara. Kekayaan ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum Muslim. Khalifah selaku pemimpin negara bisa berijtihad dalam rangka mendistribusikan harta tersebut kepada kaum Muslim demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Dalam konsep Islam, sesuai dengan tujuan negara bonum publicum, negara tidak akan menjadi pengkhianat rakyat, namun justru menjadi pelindung bagi rakyatnya.